أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله

Senin, 29 April 2013

Imam Mahdi,Pemimpin Khilafah akhir jaman





Sebagian orang masih bertanya-tanya apa perlunya seorang Muslim memahami tanda-tanda Akhir Zaman? Ia tidak menyadari bahwa kejahilan atau ketidak-pedulian seseorang akan tanda-tanda tersebut bisa berakibat fatal bagi kehidupannya.
Misalnya, masalah datangnya Imam Mahdi. Sebagaimana disebutkan di dalam banyak hadits, Nabi Muhammad shollallahu ‘alaih wa sallam telah memprediksi akan diutusnya seorang lelaki yang bakal menjadi pemimpin ummat Islam di Akhir Zaman. Lelaki ini akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah tadinya dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan. Artinya, ia akan menjadi panglima kaum muslimin dalam mengalihkan kehidupan dewasa ini di babak keempat –yakni babak kepemimpinan Mulkan Jabriyyan (para penguasa diktator)- menuju ke babak kelima –yakni babak tegaknya kembali khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah (ke-Khalifahan yang mengikuti metode Kenabian). Ia akan mengajak kita meninggalkan sistem jahiliyyah modern penuh kezaliman menuju sistem Islam penuh keadilan di penghujung umur dunia fana menjelang hari Kiamat.
لَوْلَمْيَبْقَمِنْالدُّنْيَاإِلَّايَوْمٌلَطَوَّلَاللَّهُذَلِكَالْيَوْمَحَتَّىيَبْعَثَفِيهِرجلمِنْأَهْلِبَيْتِييُوَاطِئُاسْمُهُاسْمِيوَاسْمُأَبِيهِاسْمُأَبِييَمْلَأُالْأَرْضَقِسْطًاوَعَدْلًاكَمَامُلِئَتْظُلْمًاوَجَوْرًا
“Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah ta’aala akan panjangkan hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (HR Abu Dawud 9435)
Dari hadits di atas sebagian Ulama menyimpulkan bahwa Imam Mahdi akan memiliki nama Muhammad bin Abdullah. Sebab kata Nabi namanya mirip nama Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam sedangkan nama ayahnya mirip nama ayah Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam . Itulah sebabnya para pejuang Palestina, khususnya kelompok Hamas mempunyai slogan perjuangan yang berbunyi:
خيبرخيبريايهودجيشمحمدسوفيعود
“Wahai kaum Yahudi, Khaibar, Khaibar… Pasukan Muhammad pasti akan kembali.”
Khaibar merupakan nama sebuah benteng kokoh bangsa Yahudi yang berhasil dijebol dan dihancurkan oleh pasukan Islam di masa lampau sekian belas abad yang lalu. Pasukan Hamas seringkali melaungkan semboyan di atas untuk menggentarkan fihak pasukan Zionis Yahudi. Agar kaum Yahudi ingat selalu bahwa sekuat apapun benteng mereka sesungguhnya semua kekuatan itu akan bisa dihancurkan oleh pasukan Islam bila dikehendaki Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Selanjutnya pasukan Islam mengingatkan bahwa “pasukan Muhammad” pasti akan datang kembali untuk membuat perhitungan. Dan istilah “Pasukan Muhammad” mengisyaratkan ke masa lampau, yaitu pasukan pengikut Nabi Muhammad shollallahu ‘alaih wa sallam , dan sekaligus ke masa yang akan datang, yaitu pasukan pengikut Muhammad bin Abdullah lelaki yang kelak datang berpredikat Imam Mahdi…!
Jika seorang Muslim tidak memiliki kecukupan pengetahuan mengenai Imam Mahdi, bisa saja fihak musuh-musuh Islam mempromosikan seorang Imam Mahdi gadungan ke pentas dunia. Lelaki tersebut mengaku bernama Muhammad bin Abdullah. Media milik kaum kuffar kemudian mengorbitkannya sedemikian rupa sebagai lelaki yang pantas memimpin ummat Islam, padahal ia adalah Imam Mahdi palsu yang akan menyesatkan ummat Islam, terutama generasi mudanya. Lalu berbondong-bondonglah ummat Islam mem-bai’atnya padahal ia akan menyesatkan setiap muslim dari jalan lurus yang diridhai Allah.
Sebaliknyapun demikian. Pada saat Imam Mahdi yang sejati telah datang, media kaum kuffar segera memberikan label seperti teroris, ekstrimis dan sejenisnya. Lalu setiap Muslim yang bodoh dan tidak pernah mempelajari hadits-hadits mengenai kemunculan dan kriteria Imam Mahdi segera mencapnya sebagaimana diinginkan oleh media kuffar tersebut. Akhirnya jangankan si Muslim tadi berbai’at dengan Imam Mahdi, malah sebaliknya ia akan mendaftarkan dirinya ke dalam pasukan yang siap memerangi Al-Mahdi. Padahal Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam jelas-jelas memerintahkan setiap orang beriman di Akhir Zaman untuk mempersiapkan diri menghadapi kedatangan Imam Mahdi. Dan bilamana kedatangannya sudah nyata Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam memerintahkan kita untuk segera mendaftarkan diri ke dalam pasukannya betapapun sulitnya keadaan ketika itu.
فَإِذَارَأَيْتُمُوهُفَبَايِعُوهُوَلَوْحَبْوًاعَلَىالثَّلْجِ
“Ketika kalian melihatnya (Imam Mahdi) maka ber-bai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju.” (HR Ibnu Majah 4074)
Bila seorang Muslim pengetahuannya cuma sebatas bahwa Imam Mahdi bernama Muhammad bin Abdullah, maka tentunya dengan mudah fihak musuh akan mempermainkan pengetahuannya yang terbatas itu untuk mengorbitkan Imam Mahdi palsu. Ia tidak cukup rajin untuk mempelajari hadits-hadits lainnya soal Imam Mahdi agar ia memiliki pemahaman yang relatif utuh.
Lalu si Muslim tadi malah akan berseberangan jalan dengan Imam Mahdi yang sebenarnya karena terbiasa mengikuti kemauan para penguasa diktator yang sedang digdaya di zaman penuh fitnah dewasa ini. Bila media penguasa diktator menjuluki Imam Mahdi yang asli sebagai teroris, maka si Muslim pandir tadipun akan membeo dengan menjuluki Imam Mahdi sebagai teroris. Bahkan ia akan penuh kesungguhan turut berfihak kepada kelompok yang memerangi Imam Mahdi dengan dalih sedang menjalankan proyek mulia “War on Terror.”
Saudaraku, sungguh merugilah barangsiapa yang menganggap remeh pemahaman akan tanda-tanda Akhir Zaman. Padahal hari demi hari berlalu sedangkan tanda demi tanda semakin tersingkap di hadapan kita bersama. Bersiap-siagalah, saudaraku. Segeralah belajar mumpung masih ada waktu. Jangan sia-siakan umur padahal Kiamat semakin dekat…!
Ustad Ihsan Tanjung
Eramuslim

Jumat, 26 April 2013

Wasiat Nabi Muhammad SAW " Jangan Marah"



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!”
[HR. al-Bukhâri]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).
SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu ‘anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.
DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”[1]
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali”. [al-Fath/48 : 6] [2]
Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik sebelum maupun sesudahnya.[3]
Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” [asy-Syûrâ/42 : 11]
Sifat marah bagi Allah Azza wa Jalla merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang wajib ditempuh oleh setiap muslim.
Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau marah karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka beliau marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa Alaihissalam [4] dan marahnya Nabi Yunus Alaihissalam [5]. Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau jangan marah “ kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal.
Pertama. Maksud dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik yang semisalnya.
Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul berbagai sebabnya.
Kedua. Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan melakukan tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya.
Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:
”Dan setelah amarah Musa mereda… ” [al-A’râf/7 : 154]
Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah.
Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla :
“… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf” [asy-Syûrâ/42 : 37]
Juga dengan firman-Nya Ta’ala:
“…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” [Ali ‘Imrân/3 : 134]
Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meredam amarah adalah dengan mengucapkan:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”. Para sahabat berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?” Laki-laki itu menjawab, “Aku bukan orang gila”.[6]
Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” [al-A’râf/7 : 200]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring” [7].
Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.
Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam” [8].
Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji, melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua keburukan itu hilang darinya.
Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah”. [9]
Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.[10]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ

“Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah k akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai” [11].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga” [12].
Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya, bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah Ta’ala berfirman:
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)… ” [at-Taubah/9 : 14-15]
Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau ketika berjihad di jalan Allah.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur`ân.”[13] Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-Qur`ân, berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`ân dan marah karena kemarahan Al-Qur`ân.
Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang dibencinya, kami mengetahuinya di wajah beliau.”[14]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat bagi beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:

لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ

“Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar” [15].
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat atau mendengar sesuatu yang membuat Allah Azza wa Jalla murka, maka beliau marah karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya lalu bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar ini.” [16]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang imam yang shalat lama dengan manusia hingga sebagian mereka terlambat, beliau marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam melihat dahak di kiblat masjid, beliau marah, mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah Azza wa Jalla ada di depan wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan wajahnya ketika shalat.”[18]
Diantara do’a yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baca ialah:

أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى

“Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha” [19].
Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah atau ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah , mereka tidak bisa berhenti dari apa yang mereka katakan.
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada seorang laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah melaknatmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi diri kalian. kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi harta kalian. Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu tersebut permintaan diajukan, melainkan Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan bagi kalian.”[20]
Ini semua menunjukkan bahwa do’a orang yang marah akan dikabulkan jika bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya.
Seorang ulama Salaf t berkata, ”Orang yang marah jika penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku cambuk, maka aku menjadikannya sebagai penebus (dosa) baginya.”[21]
Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar dari orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah, ia dihukum karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.[22]
Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah mendurhakai kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri.”[23]
Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat kaffarat.
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami mentalaq istrinya dengan talaq satu dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan istrinya selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali haidh atau tiga bulan jika ia tidak haidh agar marahnya hilang.” Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.[24]
BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.
FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan marah!” Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang obat meredam amarah.
_____________________________________
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullahu ta’ala


[1]. Fat-hul Bâri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thâhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435), Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban (no. 6431 –at-Ta’lîqâtul Hisân), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nasâ`i dalam As-Sunanul-Kubra (no. 11222).
[4]. Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282, 6048, 6115), Muslim (no. 2610). Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila” silakan lihat Fat-hul Bâri (X/467).
[7]. Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152- Kasyful Astâr) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no. 693) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bâri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari Sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522).
[12]. Shahîh. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7374) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (no. 2749).
[13]. Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188, 216), an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no. 2333), dan ad-Darimi (I/345-346).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu.
[18]. Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhâri (no. 406, 753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan an-Nasâ`i (II/51) dari Ibnu ‘Umar c. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408, 409) dan Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[19]. Shahîh. HR Ahmad (IV/264), an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban (no. 1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhuma.
[20]. Shahîh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361), Muslim (no. 2601), dan Ibnu Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[22]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/375).
[23]. Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[24]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377.
[25]. Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.

Sabtu, 20 April 2013

Ribuan Malaikat Mendoakan Orang yang sabar menerima cacian orang lain



Suatu hari, Rasulullah SAW bertamu ke rumah Abu Bakar Ash-Shidiq. Ketika bercengkrama dengan Rasulullah, tiba-tiba datang seorang Arab Badui menemui Abu Bakar dan langsung mencela Abu Bakar. Makian, kata-kata kotor keluar dari mulut orang itu. Namun, Abu Bakar tidak menghiraukannya. Ia melanjutkan perbincangan dengan Rasulullah. Melihat hal ini, Rasulullah tersenyum.
Kemudian, orang Arab Badui itu kembali memaki Abu Bakar. Kali ini, makian dan hinaannya lebih kasar. Namun, dengan keimanan yang kokoh serta kesabarannya, Abu Bakar tetap membiarkan orang tersebut. Rasulullah kembali memberikan senyum.
Semakin marahlah orang Arab Badui tersebut. Untuk ketiga kalinya, ia mencerca Abu Bakar dengan makian yang lebih menyakitkan. Kali ini, selaku manusia biasa yang memiliki hawa nafsu, Abu Bakar tidak dapat menahan amarahnya. Dibalasnya makian orang Arab Badui tersebut dengan makian pula. Terjadilah perang mulut. Seketika itu, Rasulullah beranjak dari tempat duduknya. Ia meninggalkan Abu Bakar tanpa mengucapkan salam.
Melihat hal ini, selaku tuan rumah, Abu Bakar tersadar dan menjadi bingung. Dikejarnya Rasulullah yang sudah sampai halaman rumah. Kemudian Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah Anda biarkan aku dalam kebingungan yang sangat. Jika aku berbuat kesalahan, jelaskan kesalahanku!”
Rasulullah menjawab, “Sewaktu ada seorang Arab Badui datang dengan membawa kemarahan serta fitnaan lalu mencelamu, kulihat tenang, diam dan engkau tidak membalas, aku bangga melihat engkau orang yang kuat mengahadapi tantangan, menghadapi fitnah, kuat menghadapi cacian, dan aku tersenyum karena ribuan malaikat di sekelilingmu mendoakan dan memohonkan ampun kepadamu, kepada Allah SWT.”
Begitu pun yang kedua kali, ketika ia mencelamu dan engkau tetap membiarkannya, maka para malaikat semakin bertambah banyak jumlahnya. Oleh sebab itu, aku tersenyum. Namun, ketika kali ketiga ia mencelamu dan engkau menanggapinya, dan engkau membalasnya, maka seluruh malaikat pergi meninggalkanmu.
Hadirlah iblis di sisimu. Oleh karena itu, aku tidak ingin berdekatan dengan kamu aku tidak ingin berdekatan dengannya, dan aku tidak memberikan salam kepadanya.
Setelah itu menangislah abu bakar ketika diberitahu tentang rahasia kesabaran bahwa itu adalah kemuliaan yang terselubung. []

Kamis, 11 April 2013

Makna Kalimat Tauhid



http://indonesian.iloveallaah.com/wp-content/uploads/2010/08/Islam5.jpg


Para ulama telah menyebutkan bahwa makna لا إله إلا الله ini mengandung beberapa syarat yang jika tidak terpenuhi maka dia tidak akan sempurna.
Dan syarat kalimat لا إله إلا الله adalah delapan, yaitu:
Pertama: Memahami maknanya, maksudnya dan apa-apa yang dilarangnya serta apa-apa yang menjadi tuntutannya.
قال تعالى: ] فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ [
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS. Muhammad: 19).
Pada riwayat Muslim di dalam kitab shahihnya dari Utsman radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersabda: Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebanarnya kecuali Allah maka dia pasti masuk surga”.[1]
Dan banyak manusia yang mengucapkannya dengan lisannya semata namun dia tidak mengetaui apaun dari artinya, oleh karena itulah mereka terjebak di dalam kesyirikan.
Kedua: Keyakinan yang menghilangkan keraguan, yaitu orang yang mengucapkannya harus meyakini apa-apa yang ditunjukkan oleh makna kalimat ini. Dan jika di dalam hatinya terdapat keraguan terhadap apa yang ditunjukkan oleh makna kalimat ini maka ucapannya tersebut tidak memberikan manfaat apapun baginya.
قال تعالى: ] إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا  [
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu. (QS. Al-Hujurat:  15).
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersabda: Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, maka tidaklah seorang hamba yang bertemu Allah dengan meyakini kalimat tersebut dan dirinya tidak ragu dengannya kecuali dia akan masuk surga”.[2]
Ketiga: IKhlas yang menghapuskan kesyirikan. Seseorang tidak mengucpakannya karena riya’ atau sum’ah.
قال تعالى:  ] وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ  [
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada -Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (QS. Al-An’am: 5).
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shihihnya dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersabda: orang yang paling bahagia dengan syaf’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan لا إله إلا الله dengan ikhlas dari dirinya”.[3]
Keempat: Kebenaran yang menghapuskan kebohongan. Dia mengucapkan kalimat لا إله إلا الله dengan benar bersumber dari hatinya.
قال تعالى: ] الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ [
Alif laam miim (2) Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. (3)Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. )QS. Al-Ankabut: 1-3).
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersabda: Tidak ada seorangpun yang bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dengan ucapan yang benar-benar dari hatinya kecuali Allah mengharamkan dirinya dari api neraka”.[4]
Di dalam hadits ini disyaratkan pengucapan kalimat ini dengan sebenar-benarnya.
Kelima: Cinta yang menghapuskan kebencian. Dia mencintai kalimat ini dan apa yang ditunjukkan oleh kalimat ini serta orang-orang yang berbuat dengan tuntutan kalimat ini.
قال تعالى: ] وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلهِ [
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 165).
Keenam: Tunduk terhadap apa yang ditunjukkan oleh kalimat ini, yaitu tunduk yang menghapuskan sikap meninggalkan tuntutan kalimat ini. Maka wajib bagi orang yang beriman untuk tunduk terhadap makna yang dikandung oleh kalimat لا إله إلا الله baik secara lahiriyah atau bathiniyah.
قال تعالى: ] وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ [
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, (QS. Al-Nisa’: 125)
Kepasrahan adalah bentuk ketundukan kepada perintah Allah Subahanahu Wa Ta’ala.
Ketujuh: Penerimaan yang menghapuskan penolakan. Maka wajib menerima apa yang menjadi tuntutan kalimat ini baik berupa ibadah kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala semata tanpa mempersekutukan -Nya dengan sesuatu apapun dan meninggalkan peribadatan kepada selain Allah Subahanahu Wa Ta’ala, maka barangsiapa yang mengucapkannya namun dia tidak menerima apa yang menjadi tuntutan kalimat ini maka dia termasuk orang yang dikatakan oleh Allah Subahanahu Wa Ta’ala di dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ] إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ [
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. (QS. Al-Shoffat: 35)
Kedelapan: Mengningkari setiap sesembahan selain Allah Subahanahu Wa Ta’ala seperti penyembahan terhadap tahagut dan menetapkan ibadah hanya kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala semata.
قال الله تعالى: ] فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ [
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat. (QS. Al-Baqarah: 256).
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari  Abi Malik dari bapaknya bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersabda: Barangsiapa yang mengucapkan لا إله إلا الله dan meningkari penyembahan selain Allah maka harta dan darahnya menjadi haram dan perhitungan dirinya diserahkan kepada Allah”.[5]
Di antara keutamaan kalimat yang agung ini adalah:
Pertama: Akan dibukakan bagi orang yang mengucapkannya, delapan pintu surga. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Ubadah bin Shamit radhillahu anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersabda: Barangsiapa yang mengucapkan tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah Subahanahu Wa Ta’ala semata, tiada sekutu bagi -Nya dan Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya, dan Isa adalah hamba Allah Subahanahu Wa Ta’ala dan anak dari hamba Allah Subahanahu Wa Ta’ala dan kalimat -Nya yang dihunjumkan kepada Maryam dan ruh dari -Nya, dan surga itu benar adanya, neraka itu benar adanya maka Allah Subahanahu Wa Ta’ala akan memasukkannya ke dalam surga dari pintu manapun dari delapan pintu surga yang disukainya”.[6]
Kedua: Orang yang mengakui kebenaran kalimat ini sekalipun dia seorang pelaku maksiat dan dimasukkan ke dalam neraka akibat kemaksiatannya namun mereka tetap akan dikeluarkan dari api neraka. Di dalam kitab as-shahihaini dari Anas radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersabda: Allah subahanhu wa ta’ala berfirman: Demi Keperkasaan -Ku, demi kemuliaan -Ku, demi kebesaran -Ku, demi keagungan -Ku, Aku akan mengeluarkannya dari neraka orang yang mengatakan (لا إله إلا الله)[7]
Diriwayatkan oleh Al-Thabrani di dalam Al-mu’jamul Ausath dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersada: Barangsiapa yang mengucapkan لا إله إلا الله maka ucapannya itu akan memberikannya manfaat pada suatu masa dan sebelum itu dia akan mendapatkan apa yang sebelumnya diperbuat oleh dirinya”.[8]
Ketiga: Barangsiapa yang mengucapkannya sebelum kematiannya dan dia meninggal  atasnya maka dia masuk surga. Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab sunannya dari Muadz bin Jabal radhiallahu anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu’alaihi wa salam bersabda: Barangsiapa yang akhir kalamnya لا إله إلا الله maka dia pasti masuk surga”.[9]
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

[1] Muslim no: 26
[2] Muslim no: 26
[3] Al-Bukhari: no:
[4] Al-Bukhari no: 128 dan Muslim: no: 32
[5] Muslim: no: 23
[6] Shahih Muslim: no: 28 dan Bukhari no: 3435
[7] Al-Bukhri no: 7510 dan Muslim: 192
[8] Al-Thabrani 6/274 no: 6369 dishahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab shahihul jami’s shagir 2/1098 no: 2434
[9] Sunan Abu Dawud no: 3116