عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : ((
لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )).
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau
menjawab, “Engkau
jangan marah!”
Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!”
[HR. al-Bukhâri]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini
shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466,
III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam
at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262,
no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769),
‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam
Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra
(X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).
SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam
hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu ‘anhu. Ia meminta
wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang
mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan
mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah.
Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi
tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah
pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala
kebaikan.
Marah
adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia
mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah,
dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.
DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam
hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin
balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi
padanya.
Marah
banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul,
melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan
perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki,
berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan
sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran
sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti
sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau
mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah
tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa
hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”[1]
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di dalam
Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang
dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka
kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang
melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Dia
mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga)
orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk
terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan
Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka
Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat
kembali”. [al-Fath/48 : 6] [2]
Di dalam
hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu
baik sebelum maupun sesudahnya.[3]
Setiap
muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh
mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan
sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” [asy-Syûrâ/42 : 11]
Sifat
marah bagi Allah Azza wa Jalla merupakan sifat yang sesuai dengan
keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang
wajib ditempuh oleh setiap muslim.
Adapun
marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada pula yang
tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dalam
membela agama Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, membela hak-hak-Nya,
dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau marah karena ada hukum-hukum Allah
dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka beliau marah. Begitu pula
marahnya Nabi Musa Alaihissalam [4] dan marahnya Nabi Yunus Alaihissalam [5]. Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam
hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi
dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan
kebinasaan.
Ja’far bin
Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala
kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah
untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab,
“Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq
rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan
meninggalkan amarah.
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau jangan marah “ kepada
orang yang meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal.
Pertama.
Maksud dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki sebab-sebab
yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah hati,
penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu orang
lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik yang
semisalnya.
Apabila
jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi kebiasaan
baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul berbagai
sebabnya.
Kedua.
Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan melakukan tuntutan marahmu
apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk tidak
mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab, apabila
amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan yang
melarangnya.
Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:
”Dan setelah amarah Musa mereda… ” [al-A’râf/7 : 154]
Apabila
manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya
berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah darinya, bahkan
bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga
seolah-olah ia tidak marah.
Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla :
“… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf” [asy-Syûrâ/42 : 37]
Juga dengan firman-Nya Ta’ala:
“…Dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” [Ali ‘Imrân/3 : 134]
Nabi
memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai sebab
yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji orang yang
dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meredam amarah adalah dengan mengucapkan:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling
mencaci di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang dari
keduanya mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, dan urat
lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya
hilanglah darinya apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia
mengucapkan,
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
(Aku
berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”. Para sahabat
berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?”
Laki-laki itu menjawab, “Aku bukan orang gila”.[6]
Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika setan datang mengodamu, maka
berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha
Mengetahui” [al-A’râf/7 : 200]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah untuk
duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Apabila
seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk;
apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika
belum, hendaklah ia berbaring” [7].
Ada yang
mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang orang duduk
tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu sangat kecil
kemungkinan untuk balas dendam.
Maksudnya
ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam dirinya dan
tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang marah
hendaklah ia diam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam” [8].
Ini juga
merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang sedang marah
maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji, melaknat,
mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia akan
menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua
keburukan itu hilang darinya.
Menurut
syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu melawan dan
mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang
yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat
ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah”. [9]
Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.[10]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan orang yang
dapat menahan amarahnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ
غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ
“Barangsiapa
menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah k
akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya
untuk memilih bidadari yang ia sukai” [11].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga” [12].
Yang
diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu sebatas
untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya, bisa jadi
ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia diberi
pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak gangguan
terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap
orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah
Ta’ala berfirman:
“Perangilah
mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan)
tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan)
atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan Dia
menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)… ” [at-Taubah/9 :
14-15]
Ini adalah
keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak balas
dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang diharamkan
Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menahan
kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan wanita
dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau ketika
berjihad di jalan Allah.
‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur`ân.”[13]
Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-Qur`ân, berakhlak dengan
akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`ân dan marah karena
kemarahan Al-Qur`ân.
Karena
sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghadapi
siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan ketidaksukaan beliau
terlihat di wajah beliau, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id
al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih
pemalu daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang
dibencinya, kami mengetahuinya di wajah beliau.”[14]
Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
‘anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk
mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat bagi beliau, wajah
beliau berubah, beliau marah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya bersabda:
لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ
“Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar” [15].
Apabila
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat atau mendengar sesuatu
yang membuat Allah Azza wa Jalla murka, maka beliau marah karenanya,
menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup
padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya lalu bersabda,
“Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah
orang yang menggambar gambar-gambar ini.” [16]
Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang imam yang
shalat lama dengan manusia hingga sebagian mereka terlambat, beliau
marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh meringankan
shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17]
Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam melihat dahak di kiblat masjid,
beliau marah, mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya jika salah
seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah Azza wa Jalla ada di
depan wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di
depan wajahnya ketika shalat.”[18]
Diantara do’a yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baca ialah:
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى
“Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha” [19].
Ini sangat
mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah atau ridha,
karena sebagian manusia jika mereka marah , mereka tidak bisa berhenti
dari apa yang mereka katakan.
Dari Jabir
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada seorang
laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat
kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah
melaknatmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai
kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan mendo’akan
kejelekan bagi diri kalian. kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi
anak-anak kalian. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi harta kalian.
Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu tersebut permintaan
diajukan, melainkan Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan bagi kalian.”[20]
Ini semua
menunjukkan bahwa do’a orang yang marah akan dikabulkan jika bertepatan
dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang berdo’a bagi
kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya.
Seorang
ulama Salaf t berkata, ”Orang yang marah jika penyebab marahnya adalah
sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan perjalanan, atau penyebab
amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia tidak boleh dicela
karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa jika yang
keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung hardik,
caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku ridha seperti
ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang Muslim
mana saja yang pernah aku caci dan aku cambuk, maka aku menjadikannya
sebagai penebus (dosa) baginya.”[21]
Sedang
jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran, kemurtadan,
pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang benar, dan lain
sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah tersebut
mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar dari
orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah, ia
dihukum karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.[22]
Diriwayatkan
dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku
mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas
berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa menghalalkan untukmu apa
yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah mendurhakai kepada
Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri.”[23]
Diriwayatkan
dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa sesungguhnya
sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat kaffarat.
Al-Hasan
rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami mentalaq
istrinya dengan talaq satu dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami
mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan istrinya selama tiga
kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak melakukannya.
Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali haidh atau tiga bulan jika
ia tidak haidh agar marahnya hilang.” Al-Hasan rahimahullah berkata
lagi, “Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal dalam
perceraiannya seperti yang diperintahkan Allah.” Diriwayatkan oleh
al-Qadhi Isma’il.[24]
BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam
keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk
hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.
FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan
keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda
beliau, “Engkau jangan marah!” Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai
kerusakan yang besar apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa
nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila
seseorang marah karena Allah, untuk membela kebenaran, dan tidak
menuruti hawa nafsu dan tidak merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia
berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dan melakukan
apa yang disebutkan di atas tentang obat meredam amarah.
_____________________________________
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullahu ta’ala
[1]. Fat-hul Bâri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thâhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435),
Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban
(no. 6431 –at-Ta’lîqâtul Hisân), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan
an-Nasâ`i dalam As-Sunanul-Kubra (no. 11222).
[4]. Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282,
6048, 6115), Muslim (no. 2610). Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila”
silakan lihat Fat-hul Bâri (X/467).
[7]. Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365),
al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152-
Kasyful Astâr) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini
dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no.
693) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bâri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu
Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari
Sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu. Dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522).
[12]. Shahîh. HR ath-Thabrani dalam
al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no.
7374) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (no. 2749).
[13]. Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad
(VI/54, 91, 111, 188, 216), an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no.
2333), dan ad-Darimi (I/345-346).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu.
[18]. Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa
(I/194), al-Bukhâri (no. 406, 753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu
Dawud (no. 479), dan an-Nasâ`i (II/51) dari Ibnu ‘Umar c. Diriwayatkan
pula oleh al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin
Mâlik Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408,
409) dan Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu.
[19]. Shahîh. HR Ahmad (IV/264),
an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban (no. 1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân)
dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhuma.
[20]. Shahîh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361),
Muslim (no. 2601), dan Ibnu Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân)
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[22]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/375).
[23]. Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[24]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377.
[25]. Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.