Segala puji hanya bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad SAW, keluarganya,shabatnya,tabiin, tabi-tabiin dan kita sebagai umatnya.Amin
1- Ajaran Islam hanya menunggalkan Allah dalam ibadah
Ajaran lainnya menduakan Allah dalam ibadah. Namun ajaran Islam-lah
yang memurnikan ibadah hanya pada Allah. Coba renungkan ayat,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ
عَلَى شَيْءٍ وَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ
مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًا هَلْ يَسْتَوُونَ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ
أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (75)
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami
beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki
itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama?
Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada
mengetahui. (QS. An Nahl: 75).
Ayat di atas adalah permisalah untuk orang kafir dan orang mukmin.
Budak yang dimiliki yang tidak mampu memanfaatkan sesuatu pun, inilah
ibarat untuk orang mukmin. Sedangkan orang beriman diibaratkan dengan
orang yang diberi rizki yang baik lalu ia infakkan secara diam-diam atau
terang-terangan. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 698.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,
فإذا كانا لا يستويان، فكيف يستوي المخلوق العبد الذي ليس له ملك ولا
قدرة ولا استطاعة، بل هو فقير من جميع الوجوه بالرب الخالق المالك لجميع
الممالك القادر على كل شيء؟!!
“Jika tidak sama antara budak dan orang yang merdeka tersebut,
bagaimana bisa disamakan antara makhluk yang dikuasai tuannya yang tidak
memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan, bahkan ia itu fakir
dari berbagai sisi, ini mau disamakan dengan Allah Ta’ala Sang Maha
Pencipta, Maha Memiliki segalanya, dan mampu menguasai segala
sesuatu?!!” (Taisir Karimir Rahman, hal. 445).
Dalam lanjutan ayat disebutkan,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَم
لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا
يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (76)
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang
bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas
penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan
orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan
yang lurus?” (QS. An Nahl: 76).
Syaikh As Sa’di mengatakan mengenai ayat ini,
فكما أنهما لا يستويان فلا يستوي من عبد من دون الله وهو لا يقدر على
شيء من مصالحه، فلولا قيام الله بها لم يستطع شيئا منها، ولا يكون كفوا
وندا
“Jika dua orang yang dimisalkan dalam ayat ini (orang yang bisu yang
masih bergantung pada yang lain dan orang yang menyuruh berbuat adil)
tidaklah sama, maka tentu tidak sama antara orang yang menyembah selain
Allah sedangkan ia tidak mampu melakukan yang maslahat untuk dirinya
sendiri. Jika bukan karena kuasa Allah, tentu ia tidak mampu melakukan
sesuatu pun. Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang semisal dan jadi
tandingan bagi Allah.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 445).
Sedangkan ajaran Islam yang paling agung adalah memerintahkan untuk
mentauhidkan Allah sebagaimana ajaran yang para Rasul lainnya ajarkan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut” (QS. An
Nahl: 36).
Sedangkan makna thoghut disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in (1: 50),
كل ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع
“Segala sesuatu yang membuat hamba melampaui batas baik sesuatu yang disembah, sesuatu yang diikuti atau sesuatu yang ditaati.”
Perintah tauhid ini berisi ajaran agar Allah tidak diduakan, ibadah
hanya boleh ditujukan pada Allah saja. Tauhid ini adalah maksud dari
kalimat laa ilaha illallah yaitu menetapkan sesembahan hanya Allah dan
meniadakan sesembahan selain Allah. Sebagaimana kata Ibrahim pada
ayahnya yang disebutkan dalam ayat berikut ini,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي
بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ
سَيَهْدِينِ (27) وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ (28)
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
"Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi
(aku menyembah) Rabb Yang telah menciptakanku; karena sesungguhnya Dia
akan memberi hidayah kepadaku". Dan (lbrahim ‘alaihis salam) menjadikan
kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka
kembali kepada kalimat tauhid itu” (QS. Az Zukhruf: 26-28).
Begitu pula disebutkan dalam ayat lainnya,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ
دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera
Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb yang Esa, tidak ada
Rabb (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
2- Allah benar-benar diagungkan dalam Islam
Allah itu begitu besar sehingga patut kita agungkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - قَالَ جَاءَ حَبْرٌ
مِنَ الأَحْبَارِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ
يَا مُحَمَّدُ ، إِنَّا نَجِدُ أَنَّ اللَّهَ يَجْعَلُ السَّمَوَاتِ عَلَى
إِصْبَعٍ وَالأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ ، وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ ،
وَالْمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ ، وَسَائِرَ الْخَلاَئِقِ عَلَى
إِصْبَعٍ ، فَيَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ . فَضَحِكَ النَّبِىُّ - صلى الله
عليه وسلم - حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ الْحَبْرِ
ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ( وَمَا قَدَرُوا
اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ )
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, ia berkata, “Salah
seorang pendeta Yahudi pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam seraya berkata”, Wahai Muhammad, sesungguhnya kami dapati
(dalam kitab suci kami) bahwa Allah akan meletakkan langit di atas satu
jari, bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas
satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu
jari, kemudian Allah berfirman, “Akulah Penguasa (raja)”, maka
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tertawa (lebar) sampai nampak
gigi geraham beliau dalam rangka membenarkan ucapan pendeta Yahudi tadi,
kemudian beliau membacakan firman Allah (yang artinya), “Dan mereka
(orang-orang musyrik) tidak mengagung-agungkan Allah dengan pengagungan
yang sebenar-benarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada
hari kiamat.” (QS. Az Zumar: 67). (HR. Bukhari no. 4811 dan Muslim no.
2786).
Pengagungan pada Allah di sini seperti yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah,
وَمِنَ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ : الْإِيمَانُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ
فِي كِتَابِهِ الْعَزِيزِ ، وَبِمَا وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُهُ مُحَمَّدٌ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيفٍ وَلَا تَعْطِيلٍ ،
وَمِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَمْثِيلٍ .
“Di antara bentuk iman: iman terhadap apa yang Allah sifatkan bagi
diri-Nya di dalam kitabnya, begitu pula yang disifati oleh Rasul-Nya
Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tanpa merubah maknanya, tanpa
menolak maknanya, tanpa menanyakan hakikat sifat Allah, dan tanpa
memisalkan dengan makhluk.”
Jadi, yang namanya seseorang mengangungkan Allah adalah dengan ia
menetapkan nama dan sifat bagi Allah namun tidak menyamakannya dengan
makhluk, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan Allah, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11).
Di antara keistimewaan ajaran Islam lainnya, ajarannya tidak perlu
ditambah atau pun dikurangi. Artinya Islam tidak mengizinkan adanya
ibadah baru dalam agama, Di samping itu pula, Islam melindungi
kehormatan wanita dengan memerintahkan mereka untuk mengenakan jilbab.
3- Ajaran Islam itu telah sempurna, tidak perlu ditambah atau pun dikurangi
Suatu ajaran jika sudah dikatakan telah sempurna, maka tidak butuh
adanya tambahan. Kalau ditambah, itu sama saja menyatakan bahwa ajaran
tersebut tidaklah sempurna. Coba perhatikan kisah ‘Umar berikut,
لما نزلت { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } وذلك يوم الحج
الأكبر، بكى عمر، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم : "ما يبكيك؟" قال:
أبكاني أنّا كنا في زيادة من ديننا، فأما إذْ أكمل فإنه لم يكمل شيء إلا
نقص. فقال: "صدقت"
“Ketika turun ayat ‘pada hari ini telah kusempurnakan agama kalian
untuk kalian’ yaitu pada haji akbar, maka ‘Umar pun menangis. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata padanya, “Apa yang membuatmu
menangis?” ‘Umar menjawab, “Yang membuatku menangis karena kami menambah
ajaran pada agama yang telah sempurna. Yang namanya sesuatu yang telah
sempurna tentu jika ditambah malah jadi tidak sempurna dan malah jadi
disebut kurang.” “Engkau benar”, ujar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 315. Dikeluarkan oleh Ath
Thobari dengan sanad dan matan darinya. Sanadnya dho’if karena dho’ifnya
Sufyan). Meskipun riwayatnya dho’if, namun maknanya shahih.
Sehingga hal ini menunjukkan tercelanya bid’ah karena telah
menganggap ajaran Islam itu kurang dan perlu ditambah. Dalil-dalil yang
mencela bid’ah dapat dilihat dalam hadits berikut,
1- Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani mengatakan
hadits ini shahih).
2- Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ
الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan
setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
3- Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang
tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20
dan Muslim no. 1718)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:
1- Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
2- Sesuatu yang baru dalam agama.
3- Tidak disandarkan pada dalil syar’i.
Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang
dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.”
(Fathul Bari, 13: 254)
Coba bayangkan bagaimana jika dalam ibadah dan amalan terus dibuat
inovasi baru, tentu ajaran Islam yang asli bisa rusak bahkan punah
karena tidak lagi dikenal.
4- Islam melindungi kehormatan wanita
Dahulu wanita begitu dilecehkan. Namun ketika Islam itu datang,
wanita itu begitu dihormati dengan diperintahkan untuk berjilbab. Allah
Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Apakah ada ajaran
yang ingin melindungi wanita seperti ini, yaitu supaya tidak diganggu
dan untuk membedakan manakah wanita yang mulia dan bukan?
Lalu apa yang dimaksud dengan jilbab?
Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang
ukurannya lebih besar dari khimar. Lihat Fathul Qodir karya Asy
Syaukani, 6: 79.
Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi
seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia
berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki
jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” (HR. Muslim no.
890). Hadits ini pun menunjukkan bahwa pakaian wanita muslimah itu lebar
(bukan ketat). Karena saking lebarnya pakaian wanita yang disebutkan
dalam hadits ini, maka terkadang bisa cukup untuk menutupi dua orang
wanita sekaligus.
Sumber: rumaysho.com dan I Love Allah .com