أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله

Rabu, 29 Mei 2013

Jika Hati Baik




Segala puji milik Allah SWT, tuhan pencipta alam beserta isinya.Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya,sahabatnya dan kita sebagai umatnya.Aamin

Jika hati baik, maka baiklah anggota badan yang lain. Jika hati rusak, maka rusak pula yang lainnya. Baiknya hati dengan memiliki rasa takut, rasa cinta pada Allah dan ikhlas dalam niat. Rusaknya hati adalah karena terjerumus dalam maksiat, keharaman dan perkara syubhat (yang masih samar hukumnya).
Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Hadits di atas adalah lanjutan dari hadits tentang meninggalkan perkara syubhat yang telah kita kaji sebelumnya.

Tergantung pada Baiknya Hati

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengisyaratkan bahwa baiknya amalan badan seseorang dan kemampuannya untuk menjauhi keharaman, juga meninggalkan perkara syubhat (yang masih samar hukumnya, -pen), itu semua tergantung pada baiknya hati. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210.
Para ulama katakan bahwa walaupun hati (jantung) itu kecil dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain, namun baik dan jeleknya jasad tergantung pada hati. (Lihat Syarh Muslim, 11: 29).
Para ulama katakan bahwa hati adalah malikul a’dhoo (rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan adalah junuduhu (tentaranya). Lihat Jaami’ul ‘Ulum, 1: 210.

Letak Jalan Berpikir adalah Di Hati

Hadits ini juga merupakan dalil bahwa akal dan kemampuan memahami, pusatnya adalah di hati. Sumbernya adalah di hati, bukan di otak (kepala). Demikian disimpulkan oleh Ibnu Batthol dan Imam Nawawi rahimahullah.

Apa yang Dimaksud Baiknya Hati?

Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud baiknya hati, berikut pendapat yang ada:
1- Yang dimaksud baiknya hati adalah rasa takut pada Allah dan siksanya.
2- Yang dimaksud adalah niat yang ikhlas karena Allah, ia tidak melangkahkan dirinya dalam ibadah melainkan dengan niat taqorrub pada Allah, dan ia tidak meninggalkan maksiat melainkan untuk mencari ridho Allah.
3- Yang dimaksud adalah rasa cinta pada Allah, juga cinta pada wali Allah dan mencintai ketaatan.
Intinya, ketiga makna ini semuanya dimaksudkan untuk baiknya hati. Demikian penjelasan guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 68-69.

Bagaimana Cara Baiknya Hati?

Guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan -semoga Allah memberkahi umur beliau dalam kebaikan dan ketaatan- mengatakan, “Baiknya hati adalah dengan takut pada Allah, rasa khawatir pada siksa-Nya, bertakwa dan mencintai-Nya. Jika hati itu rusak, yaitu tidak ada rasa takut pada Allah, tidak khawatir akan siksa-Nya, dan tidak mencintai-Nya, maka seluruh badan akan ikut rusak. Karena hati yang memegang kendali seluruh jasad. Jika pemegang kendali ini baik, maka baiklah yang dikendalikan. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh yang dikendalikan. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah meminta pada Allah agar dikaruniakan hati yang baik. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh urusannya. Sebaliknya, jika rusak, maka tidak baik pula urusannya.” (Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 109).
Karenanya, yang sering Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- minta dalam do’anya adalah agar hatinya terus dijaga dalam kebaikan. Beliau sering berdo’a,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا

“Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad 3: 257. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat sesuai syarat Muslim).

Bagaimana Hati Bisa Rusak?

Syaikh Sholih Al Fauzan mengutarakan bahwa rusaknya hati adalah dengan terjerumus pada perkara syubhat, terjatuh dalam maksiat dengan memakan yang haram. Bahkan seluruh maksiat bisa merusak hati, seperti dengan memandang yang haram, mendengar yang haram. Jika seseorang melihat sesuatu yang haram, maka rusaklah hatinya. Jika seseorang mendengar yang haram seperti mendengar nyanyian dan alat musik, maka rusaklah hatinya. Hendaklah kita melakukan sebab supaya baik hati kita. Namun baiknya hati tetap di tangan Allah. Lihat Al Minhah Ar Robbaniyah, hal. 110.

Moga setiap langkah kita senantiasa berada di atas kebaikan.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Aku tidaklah memandang dengan pandanganku, tidak pula mengucap dengan lisanku, begitu pula tidak menyentuh dengan tanganku, dan tidak bangkit untuk melangkahkan kakiku melainkan aku melihat terlebih dahulu apakah ini semua dilakukan karena ketaatan ataukah maksiat. Jika dalam ketaatan, barulah aku mulai bergerak. Jika dalam maksiat, aku pun enggan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 213).
Ya muqollibal quluub, tsabbit quluubana ‘ala tho’atik (Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan). Wallahul muwaffiq ila aqwamittoriq
Referensi:
Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1429 H.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392 H.
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, terbitan Muassasah Ar Risalah,cetakan kedelapan, tahun 1419 H.
Syarh Al Bukhari, Ibnu Batthol, Asy Syamilah
Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Al Mukhtashor, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, terbitan Dar Kunuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Sumber: rumaysho
Sumber: I Love Allah.com

Selasa, 28 Mei 2013

Bulan-bulan yang disunahkan berpuasa



Segala puji bagi Allah S.W.T.
Adapun selanjutnya: Amma ba’du:
Kita sekarang berada dihadapan bulan dari bulan-bulan Allah al-haram, yang al-Quran menyatakannya tanpa menyebut nama-namanya. Firman Allah S.W.T.,
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram." (QS.at-Taubah:36)
Sunnah menjelaskan nama-nama tersebut.
Dari Abu Bakroh, bahwa Nabi  S.A.W. berkhutbah ketika haji wada':

" أَلَا إِنَّ الزَّمَان قَدْ اِسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْم خَلَقَ اللَّه السَّمَاوَات وَالْأَرْض ، السَّنَة اِثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَة حُرُم ، ثَلَاثَة مُتَوَالِيَات : ذُو الْقَعْدَة ، وَذُو الْحِجَّة ، وَالْمُحَرَّم ، وَرَجَب مُضَر الَّذِي بَيْن جُمَادَى وَشَعْبَان

"Sesungguhnya zaman telah berputar seperti bentuknya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun ada dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram. Tiga berurutan: Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram sedangkan Rajab berada antara Jumada dan Sya'ban." [Hadits riwayat al-Bukhari no.1741. Muslim no.1679]
Puasa pada bulan Allah Muharram
Terdapat anjuran untuk berpuasa di bulan Allah Muharram, karena bulan ini termasuk bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan .
  1. Dari Abu Hurairah, dia berkata, bersabda Rasulullah S.A.W.,
" ‏أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat faridhoh (shalat wajib yang lima waktu) adalah shalat malam." [Hadits riwayat Muslim no.1163)
Imam ad-Daaruquthni di dalam kitab al-Ilzamaat wa at-Tatabbu' hal.209 mencacat hadits ini bahwa ia mursal (terputus). Akan tetapi Imam Abu Haatim dalam kitabnya al-Ilal 1/563,564 no.751 menyatakan ketersambungan hadits ini dengan berkata: "Yang benar adalah tersambung, hamiid (terpuji) dari Abu Hurairah, dari Nabi S.A.W.
  1. Ali ra berkata bahwa dia ditanya oleh seseorang: "Bulan apa yang engkau perintahkan kepadaku untuk aku berpuasa setelah bulan Ramadhan?" Ali menjawab, "Aku belum pernah mendengar seseorang bertanya tentang hal ini selain seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah r dan aku tengah duduk bersamanya. Laki-laki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, "Bulan apa yang engkau perintahkan kepadaku untuk aku berpuasa setelah bulan Ramadhan?" Nabi menjawab, "Jika engkau berpuasa setelah bulan Ramadhan, berpuasalah pada bulan Muharram, karena sesungguhnya ia adalah bulan Allah. Padanya ada hari dimana Allah mengampuni suatu kaum dan ada hari dimana Allah mengampuni kaum-kaum yang lain lagi"."
[Hadits ini dikeluarkan oleh at-Turmudzi no.741 dan Abdullah bin Imam Ahmad di dalam al-Musnad 1/154 dari ayahnya. Al-Haafidz Ibnu Rojab berkata di dalam kitab Lathooif al-Ma'aarif hal.77: "Dalam sanad hadits ini ada pembicaraan."  Syaikh Syu'aib al-Arnauth berkata di dalam kitab Takhrij al-Musnad 2/441 no.1322: "Sanadnya lemah karena kelemahan Abdurrahman bin Ishaq Abi Syaibah dan jahalah (tidak dikenalnya) an-Nu'man bin Sa'd." Dilemahkan pula oleh al-'Alaamah al-Albani di dalam kitab Dhoif at-Tharghib 1/312 no.614]
  1. Dari Jundab bin Sufyan al-Bajali, bahwa Nabi S.A.W.  bersabda,
‏أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الَّذِي تَدْعُونَهُ الْمُحَرَّمَ "

"Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah yang kalian menyebutnya dengan Muharram."
[Hadits ini dikeluarkan oleh an-Nasai dalam kitab al-Kubro no.2916 secara menyendiri, berbeda dengan Ashhab Al-Kutub As-Sittah yang lain. Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan Al-kubro 4/291 mencacat hadits ini karena penyelisihan Abdullah bin Amr ar-Ruqi terhadap jama'ah yang semuanya menjadikan hadits ini dari riwayat Abu Hurairah, dengan komentarnya: "Diriwayatkan oleh Muslim di dalam As-Shahih berasal dari Zuhair bin Harb dari Jarir, tetapi Abdullah bin 'Amr ar-Ruqi menyelisihi mereka di dalam sanad hadits ini. Hal ini diisyaratkan pula oleh al-'Allaamah al-Albani di dalam Shahih at-Targhiib 1/592 dan oleh al-Mazi di dalam kitab at-Tuhfah 2/445; inilah yang benar.]
Al-Haafidz Ibnu Rajab berkata di dalam Lathaif al-Ma'aarif hal.81,82:
"Nabi S.A.W. telah menamai Muharram sebagai bulan Allah. Penisbatan/penyandarannya kepada Allah menunjukkan kemuliaan dan keutamaa bulan ini. Sesungguhnya Allah tidaklah menyandarkan penyebutan sesuatu kepada-Nya kecuali pada makhluk-makhluk pilihan-Nya, seperti penisbatan Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Ya'kub dan selain mereka dari para nabi –shalawat dan salam atas mereka semua- sebagai hamba/abdi-Nya, demikian pula penisbatan rumah dan onta kepada-Nya[1]. Sebagaimana bulan ini memiliki kekhususan penisbatan kepada Allah, puasapun termasuk amal yang dinisbatkan kepada Allah. Dari amalan-amalan yang ada puasa adalah untuk Allah. Allah menisbatkan kekhususan bulan Allah ini dengan amalan yang disandarkan kepada-Nya, terkhusus di bulan ini yaitu puasa.]
Masalah pertama
Imam an-Nawawi menjawab mengenai lebih banyaknya Nabi S.A.W.  berpuasa dibulan Sya'ban dibandingkan bulan Muharram.
Imam an-Nawawi berkata di dalam Syarh Muslim 8/55:
Benar bahwa Muharram adalah bulan yang paling utama untuk berpuasa. Telah kami jawab mengapa Nabi S.A.W.  lebih banyak berpuasa pada bulan Sya'ban dibandingkan pada bulan Muharram dengan dua jawaban:
Pertama: Bisa jadi Nabi S.A.W.  mengetahui keutamaannya di akhir hayatnya.
Kedua  : Bisa jadi ketika itu terdapat banyak udzur, baik safar, sakit atau yang lainnya (sehingga tidak dapat berpuasa lebih banyak di bulan Muharram -pent).
Masalah kedua:
Jumhur fuqoha dari mazhab Hanafiah, Malikiah dan Syafi'iah berpendapat istihbab (disukai) puasa pada bulan-bulan haram. Mereka berdalil:
Dari Mujbiyyah, dari ayahnya atau pamannya bahwa ia mendatangi Rasulullah S.A.W.  lalu pergi. Setahun kemudian ia kembali lagi mendatangi Nabi S.A.W., tetapi keadaan dan penampilannya telah berubah. Diapun berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengenaliku?" Nabi bertanya: "Siapa kamu?" Lelaki itu menjawab: "Aku adalah al-Baahiliy yang datang kepadamu setahun yang lalu." Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang telah merubahmu, dulu penampilanmu baik?" Lelaki itu menjawab, "Aku tidak lagi memakan makan setelah meninggalkanmu kecuali pada malam hari." Rasulullah r berkata, "Kenapa engkau siksa dirimu?" lalu melanjutkan "Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari dalam setiap bulan." Lelaki itu berkata, "Tambahkan lagi untukku, aku masih kuat!" Nabi berkata, "Perpuasalah dua hari setiap bulan." Lelaki itu berkata lagi, "Tambahkan lagi untukku!" Nabi berkata, "Berpuasalah tiga hari setiap bulan." Lelaki itu berkata lagi, "Tambahkan lagi untukku!" Nabi berkata, "Berpuasalah pada bulan Muharram lalu tinggalkan, berpuasalah pada bulan Muharram lalu tinggalkan, berpuasalah pada bulan Muharram lalu tinggalkan, beliau berkata dengan merapatkan tiga jarinya kemudian merenggangkannya[2]."
[Dikeluarkan oleh Abu Dawud no.2428 dan Ibnu Majah no.1741. Ahmad 5/28]
Al-'Alaamah al-Albani berkata di dalam Tamaamul Minnah hal.413: "Aku katakan, "Sanadnya tidak baik, karena rawinya idhtorob (guncang) dari sisi-sisi yang telah disebutkan oleh al-Haafidz di dalam kitab at-Tahdzib dan sebelumnya oleh al-Mundziri dalam kitab Mukhtashor as-Sunan. Lalu (al-Albani) melanjutkan, "Beda pendapat ini telah terjadi sebagaimana yang engkau lihat. Sebagian syaikh kami mengisyaratkan pendoifan (melemahkan) karena adanya perbedaan pendapat tersebut dan itulah yang disarankan."
Saya (al-Albaani) katakan, "Padanya ada cacat yang lain, yaitu jahalah (ada periwayat yang tidak dikenal) sebagaimana yang saya jelaskan di dalam kitab Dho'if Abi Dawud no.419." –selesai perkataannya-
Telah falid dari Ibnu Umar  (?) bahwa dia berpuasa pada bulan-bulan haram.
1. Dari Ibnu Umar bahwa dia dahulu berpuasa pada bulan-bulan haram.
Khabar ini dikeluarkan oleh Abdurrozzak di dalam al-Mushonnaf 4/292 dan sanadnya shahih.
2.  Dari Nafi' bahwa Ibnu Umar hampir-hampir tidak berpuka pada bulan-bulan haram, tidak juga pada bulan-bulan yang lain.
Dikeluarkan oleh Abdurrozzak di dalam al-Mushonnaf 4/292 dan sanadnya shahih.
Madzhab Hanabilah berpendapat bahwa disunnahkan berpuasa pada Muharram saja dari bulan-bulan haram. Berdalil dengan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam shahih Muslim di atas.
Masalah ketiga:
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata di dalam as-Syarh al-Mumti' 6/467: "Dan ulama t berbeda pendapat mana yang lebih utama, puasa pada bulan Muharram atau bulan Sya'ban?"
Sebagian ulama mengatakan, "Puasa pada bulan Sya'ban lebih utama, karena Nabi S.A.W. berpuasa pada bulan itu kecuali sedikit, dan tidak ada riwayat yang terjaga bahwa beliau berpuasa pada bulan Muharram. Akan tetapi beliau menganjurkan untuk memuasainya dengan sabda Nabi S.A.W. bahwa 'ia adalah puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan'.
Mereka juga mengatakan: "Karena puasa Sya'ban menduduki kedudukan rootibah[3] sebelum masuk puasa wajib (Ramadhan), sedangkan Muharram hanya menduduki kedudukan puasa sunnah mutlak, kedudukan rootibah tentunya lebih utama dibandingkan sunnah mutlak. Tetapi walau bagaimanapun kedua puasa ini disunnahkan, hanya saja pada Sya'ban tidak melengkapinya (memuasai seluruh hari-harinya). –selesai perkataannya-
Masalah keempat:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, terdapat dalam Fatawa beliau 20/22, yang soalnya sebagai berikut:
"Berpuasa pada seluruh hari pada bulan Muharram apakah ada keutamaannya atau tidak? Apakah aku menjadi pelaku bid'ah jika memuasainya?
Syaikh t menjawab sebagai berikut:
"Disunnahkan memuasai seluruh hari-hari bulan Muharram, berdalil sabda Nabi S.A.W.,

‏أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah bulan Allah Muharram."
Akan tetapi, sepengetahuan saya tidak terdapat nas/dalil yang menjelaskan bahwa beliau memuasai seluruh hari-harinya. Puasa yang paling banyak dilakukannya setelah Ramadhan adalah bulan Sya'ban sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits shahih dari Aisyah ra. Tidak bisa dikatakan kepada orang yang memuasai seluruh hari bulan Muharram sebagai pelaku bid'ah, kerana hadits yang telah disebutkan bisa dimafahami demikian, maksudnya anjuran untuk berpuasa pada seluruh hari-harinya sebagaimana yang disebutkan oleh sebagain ahli fikih." –selesai perkataan syaikh-
Masalah kelima:
Ibnu Rajab berkata di dalam Lathoif al-Ma'aarif hal.79,80:
"Ulama telah berbeda pendapat, bulan apakah yang paling utama dari bulan-bulan haram. Al-Hasan dan selainnya mengatakan: 'Yang paling utama adalah bulan Allah Muharram, dan ini dibenarkan oleh ulama muta'akhirin. Sebagian pengikut madzhab Syafi'iah mengklaim bahwa Rajab lebih utama, itu adalah pendapat yang tertolak. Sedangkan yang paling utama dari bulan Allah Muharram itu sendiri adalah sepuluh hari pertamanya. Yaman bin Riaab mengklaim bahwa sepuluh hari yang Allah bersumpah di dalam al-Quran adalah pada bulan ini. Yang benar bahwa sepuluh hari yang Allah bersumpah dengannya adalah sepuluh hari di bulan Zulhijjah."-selesai perkataannya-
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas sebagaimana yang terdapat di dalam Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 12/560 pada firman Allah: وليالِ عشرٍ [wa layaalilin 'asyr'] artinya: "Dan demi malam-malam yang sepuluh." (QS.al-Fajr:2) dia berkata, 'Dikatakan sepuluh ialah awal tahun dari hari-hari di bulan Muharram.
Masalah keenam:
Ulama yang menulis mengenai tema Al-Bid'ah al-Muhdatsah (perkara baru yang dibuat-buat dalam agama) mengisyaratkan pada bid'ah menghidupkan malam pertama bulan Muharram. Diantara yang menyebutkan hal itu adalah Abu Syaamah al-Maqdisi di dalam kitab Al-Baa'its 'Ala Inkaril Bida' wa al-Hawaadits hal.121,122, dia berkata:
"Dan dari kebid'ahan-kebid'ahan yang berlangsung di sekolah-sekolah di Damaskus terdapat pada Madrasah az-Zaki Hibatullah bin Rowahah, ketika itu dipimpin oleh syaikh at-Taqiy Rahmatullah. Bermula dari pemberi wakaf Daarul Hadits al-Asyrofiah, Damaskus, ketika memberi wakaf. Dia mensyaratkan kepada semua penghafal al-Quran dari orang-orang yang terlibat disitu untuk menghidupkan lima malam dari tiap-tiap malam setiap tahun, juga malam nisfu Sya'ban, malam dua puluh tujuh Ramadhan, dua malam 'Id ('Idul fitri dan 'Idul Adha), dan malam awal Muharram. Sehingga dia duduk (bermajelis) pada malam-malam itu dan jama'ah mengitarinya. Mereka memperbanyak lampu lilin dan minyak lebih banyak dari malam-malam biasanya, dan hal itu masih saja berlangsung tak berkesudahan.
Ini juga merupakan bid'ah baru. Orang-orang awam dan jahil menyangka bahwa syaikh pemberi fatwa lagi diikuti, yang memperlihatkan kekhusu'an dan ketenangan di atas permintaannya tidaklah mengada-ada malam-malam tersebut dari dirinya, melainkan dengan keyakinan bahwa malam-malam tersebut sama dan sebanding keutamaannya, dan memiliki kelebihan dibandingkan waktu yang lain, serta sunnah memang menunjukkan hal itu. Sehingga makin lama dan waktupun semakin menjauh, terlupakanlah bagaimana permulaannya, perkaranya menjadi menggurita. Tidak heran jika tidak lama lagi akan dibuat hadits-hadits palsu yang dinisbatkan kepada Rasulullah r sebagaimana yang dilakukan pada shalat roghaaib dan nisfu sya'ban. Duhai, bagaimana bisa malam kedua puluh tujuh Ramadhan disetarakan dengan malam pertama Muharram. Aku telah memeriksa atsar-atsar (keterangan-keterangan) yang shahih dan dhaif serta hadits-hadits al-maudhu (hadits palsu), dan tidak aku dapatkan seseorangpun mengatakan hal yang demikian itu. –selesai perkataannya-

[1] Rumah Allah seperti Ka'bah atau masjid. Onta Allah adalah mukjizat yang Allah turunkan sebagai ujian bagi kaum Tsamud. Lihat al-Quran surat al-A'raaf:73, Huud:64 dan as-Syams:13.–pent.
[2] Mengisyaratkan dengan tiga jari maksudnya jangan berpuasa terus menerus lebih dari tiga hari, setelah tiga hari berbuka selama satu atau dua hari. Tetapi pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah puasa tiga hari dan berbuka tiga hari. Demikian yang dinukil dari as-Sindi dalam kitab 'Aunul Ma'bud -pent.
[3] Ibadah sunnah yang mengikuti ibadah wajib.
Abdullah bin Muhammad Zuqoil
Sumber: I Love Allah.com

Jumat, 24 Mei 2013

7 Manfaat Interaksi Sosial (pergaulan)





Imam Al-Gojali berkata: " Manfaat-manfaat bergaul ( Interaksi Sosial ) itu ada 7".

1. Mengajar dan Belajar, dua kegiatan ini adalah ibadah yang paling utama di dunia,dan hal itu tidak dapat terealisasi kecuali melalui pergaulan
2. Memberi manfaat kepada orang-orang melalui hartanya atau tubuhnya dan mengambil manfaat dari orang-orang melaui bekerja (dengan upah) dan berdagang (mua'malah)
3. Membimbing denganm cara melatih orang lain, dan itu adalah keadaan guru sufi.Dan mendidik tata krama dengan latihan melalui pengukuran terhadap orang-orang dan melalui bertahan menanggung perlakuan yang menyakitkan dari mereka untuk memecah nafsu dan memaksa syahwat
4. Senang beramah tamah dan menyenagkan orang lain. yaitu orang menginginkan ia hadir diperjamuan-perjamuan(resepsi)undangan-undangan dan ditempat-tempat pergaulan
5. Meraih ganjaran dengan menghadiri (pengurusan ) jenazah-jenazah,menjenguk orang-orang sakit dan menghadiri shalat dua hari raya (idul fitri dan idul adha)
6. Rendah hati (tawadhu) karena hal itu adalah kedudukan yang paling utama dan tidak mampu hal itu dilakukan dalam hidup terisolir.terkadang kesombongan menjadi penyebab pilihan beruzlah
7. Upaya uji coba (aplikasi teori) karena uji coba dapat dihasilkan melalui interaksi dengan mahluk dan berkutat dengan prilaku-prilaku mereka. Insting akal tidak mencukupi dalam memahami kebaikan-kebaikan agama maupun dunia, dan sesungguhnya hal itu hanya bisa dicapai melalui uji coba dan pengalaman

Sumber : Salalimul fudhola. hal 79 "Syaih Muhammad Nawawi Al- Jawi"

Rahasia Ibadah Haji


 

-  Para ilmuwan Neuro-linguistic programming (NLP)   berpendapat bahwa yang menghancurkan kekuatan manusia adalah banyaknya kecemasan dan masalah-masalah yang dihadap dalam hidupnya, dan bahwa cara terbaik untuk mengembalikan keseimbangan baginya adalah dengan mengosongkan "muatan-muatan negatif" yang bertumpuk ini dengan menyikapi berbagai peristiwa yang dialaminya. Proses pengosongan ini adalah penting dan perlu agar manusia dapat hidup dengan lebih baik dan dapat menginvestasikan energinya lebih baik dan Ibadah Haji adalah cara terbaik untuk merealisasikan hal ini. Firman Allah:
(لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ) [الحج: 28].
"Supaya mereka menyaksikan berbagai perkara yang mendatangkan faedah kepada mereka serta mengingat dan menyebut nama Allah, pada hari-hari yang tertentu....” (Al-Hajj 28)
 
-  Perjalanan Ibadah Haji benar-benar merupakan aktivitas olahraga yang terbaik. Selama melaksanakan Ibadah Haji, seorang Muslim melakukan kegiatan olah raga berjalan, bermeditasi dan berkonsentrasi. Semua kegiatan ini berguna bagi tubuh. Beberapa kajian Islam menegaskan bahwa perjalanan Ibadah Haji meningkatkan kekuatan sistem kekebalan tubuh dan memberikan lebih banyak kekuatan dan kesehatan.
 
-  Dalam ayat al-Quran terdapat isyarat bahwa bumi ini bulat seperti bola dan bukannya datar. Allah SWT telah memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk menyeru umat manusia guna memenuhi seruan Allah untuk menjalankan Ibadah Haji:
(وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ) [الحج: 27]
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,.
Mukjizat al-Quran tampak dalam penggunaan ungkapan (يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ) ‘...datang berjalan dari segenap penjuru yang dalam  ”. Al-Quran tidak menggunakan ungkapan  (من كل فج بعيد)،’dari segenap penjuru yang jauh’. Perkataan (عَمِيقٍ) ‘dalam’ menunjukkan bahwa terdapat kedalaman yang berbeda di atas permukaan bumi.
 
- Para ilmuwan mengatakan bahwa berjalan dan berjalan dengan cepat (joging) merupakan pekerjaan yang paling penting untuk mencegah berbagai penyakit, terutama penyakit jantung, kolesterol, diabetes, tekanan darah tinggi, dan obesitas dan ini semua merupakan penyakit masa kini. Jika kita renungkan kegiatan Ibadah Haji ini, kita dapatkan bahwa ibadah ini sarat dengan manfaat medis. Ibadah Haji ini merupakan terapi dan sesuatu yang menyenangkan bagi tubuh dan jiwa. Oleh karena itu Allah SWT berfirman:
(لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ ...) [الحج: 28].
"Supaya mereka menyaksikan berbagai perkara yang mendatangkan faedah kepada mereka....” (Al-Hajj 28)
Manfaatan kesehatan dan medis dalam Ibadah Haji tidak terhitung jumlahnya, maka bagaimana pula dengan manfaatan spiritualnya?
 
Gambar mutiara yang sebenarnya. Di dalamnya terdapat gambar Ka`bah. Batu mulia ini terbentuk, seperti yang dikemukakan oleh para ilmuwan, sejak 30 juta tahun (yaitu sebelum kehadiran manusia di muka bumi ini). Dengan adanya fakta ini seakan-akan Allah ingin memberi isyarat kepada kita bahwa Ka`bah di Tanah Suci Mekkah itu betul-betul “rumah pertama yang diletakkan di muka bumi”. Firman-Nya:
 (إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ) [آل عمران: 96].
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (Ali `Imran 96)
 
SubhanaAllah,Labaik Allahumma Hajjan, semoga kita diperkenankan untuk pergi ke Baitullah
Oleh: Abduldaem Al-Kaheel

Senin, 20 Mei 2013

Manfaat ASI menurut Al-Qur'an

 Para ilmuwan baru-baru ini menemukan bahwa makanan yang tepat untuk bayi adalah ASI (Air Susu Ibu )


Para ilmuwan baru-baru ini menemukan bahwa makanan yang tepat untuk bayi adalah dari susu ibunya (ASI), dan makanan ini tidak dianggap sempurna kecuali jika sang ibu telah menyusui anaknya selama dua tahun penuh! Inilah yang telah dikeluarkan olehOrganisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada abad 21 ini, begitu juga dalam hasil konferensi medis baru-baru ini menegaskan bahwa masa terbaik untuk menyusui adalah dua tahun, karena anak selama dua tahun tersebut sangat membutuhkan antibodi untuk mengembangkan sistem kekebalan tubuh, benda-benda tersebut tidak ditemukan di tempat lain kecuali dalam susu ibu. Mari berfikir bersama saya apa yang diungkapkan dapat Al-Qur’an sebelum 14 abad yang lalu daripada konferensi ini!
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (Al-Baqarah:233)
Apakah ada ajaran lain yang lebih menakjubkan dari ajaran Islam?
--------------------
Oleh: Abduldaem Al-Kaheel

Jumat, 17 Mei 2013

Pendidikan Karakter Menurut Kitab Ta’lim al-Muta’allim


Oleh:  Kholili Hasib 

PENDIDIKAN karakter dalam perspektif Islam sejatinya adalah internalisasi nilai-nilai adab ke dalam pribadi pelajar. Internalisasi ini merupakan proses pembangunan jiwa yang berasaskan konsep keimanan. Gagalnya sebuah pendidikan karakter yang terjadi selama ini, dapat disebabkan karena karakter yang diajarkan minus nilai keimanan dan konsep adab. Sehingga, proses pembangunan karakter tersendat bahkan hilang sama sekali.

Untuk membentuk penuntut ilmu berkarakter dan beradab, maka pendidikan Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya, baik kedudukan di hadapan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri.

Adab Lahir dan Batin

Syeikh al-Zarnuji, penulis kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, menekankan aspek nilai adab, baik adab batiniyah maupun adab lahiriyah, dalam pembelajaran. Kitab ini mengajarkan bahwa, pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan dan ketrampilan (skill), namun paling penting adalah transfer nilai adab. Kitab yang populer di pesantren-pesantren Indonesia ini memaparkan konsep pendidikan Islam secara utuh, tidak dikotomis. Bahwa, karakter sejati itu karakter beradab, yaitu sinergi antara adab batiniyah dan adab lahiriyah.

Pendidikan karakter haruslah mendasarkan pada nilai religius, bukan justru anti nilai agama. Pemahaman umum yang diyakini kebanyakan pendidik, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan, dan menepikan nilai agama. Definisi pendidikan karakter ini masih menyisakan problem.

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, Syeikh al-Zarnuji merumuskan sejumlah metode penting dalam pembentukan karakter, yang mencakup adab batin dan lahir. Pertama, metode ilqa’ al-nasihah (pemberian nasehat). Nasihat diberikan berupa penjelasan tentang prinsip haq dan batil.

Penjelasan ini merupakan pemasangan parameter ke dalam jiwa anak sehinggaa bisa menjadi paradigma berpikir. Untuk itu, disyaratkan guru harus terlebih dahulu membersihkan diri dari sifat-sifat tercela agar nasihat yang diberikan membekas dalam jiwa anak didik (Syeikh Burhan al-Islam al-Zarnuji, Ta’im al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, hal. 46). Pemberian nasehat harus dengan kesan yang baik, bijak, dan bahasa yang mudah dimengerti.

Kedua, metode Mudzakarah (saling mengingatkan). Al-Zarnuji memberi rambu-rambu agar ketika mengingatkan murid tidak melampaui batas karena bisa menyebabkan murid tidak menerimanya. Oleh sebab itu, al-Zarnuji memberi arahan agar guru harus memiliki sifat lemah lembut, menjaga diri dari sifat pemarah (hal. 35).

Ketiga, strategi pembentukan mental jiwa. Dalam metode ini ditekankan beberapa aspek yaitu; niat, menjaga sifat wara’, istifadah (mengambil faedah guru), dan tawakkal. Syeikh al-Zarnuji menjelaskan, sukses dan gagalnya pendidikan Islam tergantung dari benar dan salahnya dalam niat belajar. Niat yang benar yaitu niat yang ditujukan untuk mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala, memperolah kebahagiaan (sa’adah) di dunia akhirat, memerangi kebodohan yang menempel pada diri dan melestarikan ajaran Islam. Harus ditekankan kepada anak didik bahwa belajar itu bukan untuk mendapatkan popularitas, kekayaan atau kedudukan tertentu, tapi mendapatkan ridha Allah.

Selama dalam proses belajar, anak didik harus dibiasakan bersifat wara’ (menjaga dari).  Syeikh al-Zarnuji mengatakan, “hanya dengan wara’ ilmu akan berguna” (hal. 9). Sikap wara’ adalah; menjaga diri dari perbuatan maksiat, menjaga perut dari makanan haram dan tidak berlebihan memakan makanan, tidak berlebihan dalam tidur, serta sedikit bicara.

Sedangkan yang dimaksud metode istifadah adalah guru menyampaikan ilmu dan hikmah, menjelaskan perbedaan antara yang haq dan batil dengan penyampaian yang baik sehingga murid dapat menyerap faidah yang disampaikan guru. Seorang murid dianjurkan untuk mencatat sesuatu yang lebih baik selama ia mendengarkan faidah dari guru sampai ia mendapatkan keutamaan dari guru.

Nilai batiniyah berikutnya adalah tawakkal dalam mencari ilmu. Guru harus menanam secara kuat dalam jiwa murid untuk bersikap tawakal selama mencari ilmu dan tidak sibuk dalam mendapatkan duniawai. Sebab, menurut al-Zarnuji, kesibukan lebih dalam mendapatkan duniawi dapat menjadi halangan untuk berakhlak mulia serta merusakkan hati.

Sebaliknya, baik guru maupun murid harus menyibukkan dengan urusan ukhrawi. Sebab pada hakikatnya kehidupan itu adalah dari Allah dan untuk Allah, maka seorang siswa itu haru siap dengan segala konsekuensi kehidupan.

Hubungan Guru-Murid

Selain menjelaskan metode dalam pembentukan jiwa beradab, kitab Ta’lim al-Muta’allim menjelaskan rumusan hubungan guru dan murid yang baik dan harmonis. Pola hubungan yang harmonis antara guru dan murid menjadi faktor suksesnya internalisasi adab ke dalam jiwa murid. Relasi guru dan murid harus berdasarkan sifat-sifat tawadhu’, sabar, ikhlas, dan saling menghormati.

Dalam konteks ini, proses pembelajaran ilmu menjunjung tinggi otoritas. Guru, dalam kitab Ta’lum al-Muta’allim, merupakan  sentral dalam proses belajar-mengajar. Yakni menggabungkan empat tugas secara integral, yakni uswah (contoh), mursyid (pembimbing), muraqib (pengawas).

Melaksanakan empat komponen tugas tersebut merupakan bentuk dari hubungan ruhiyah antara guru dan murid. Dalam pendidikan Islam, hubungan ruhiyah itu harus untuk mempermudah proses internalisasi nilai adab ke dalam jiwa murid.

Guru harus berperan membersihkan hati murid, mengharahkan dan mengiringi hati nurani murid untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridha-Nya. Guru juga harus pandai memberi prioritas pengajaran. Ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan beserta ukuran-ukuran yang sesuai.

Berkaitan dengan itu, seorang murid harus memiliki sifat iffah (menjaga diri dan menunjukkan harga diri) dan sabar menerima bimbingan guru. Dalam menuntut ilmu, hendaknya murid harus cinta ilmu dan gurunya, hormat pada guru, menyayangi sesama penuntut ilmu, memanfaatkan waktu untuk menambah ilmu.Jadi  guru harus dijadikan kaca.

Nilai-nilai adab dalam kitab ini bisa menjadi solusi yang tepat dalam model pendidikan karakter. Bahwa, pendidikan karakter itu harus berorientasi pada nilai adab. Pendidikan akhlak yang ada dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim memiliki nuansa pendidikan ruhiyah yang mengedepankan etika rabbaniyah.*

Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya    
Sumber: PenaAksi.com

Kamis, 16 Mei 2013

Bahaya merokok

Foto ini menunjukkan paru-paru seorang perokok manusia. Kita lihat bagaimana ….


Foto ini menunjukkan paru-paru seorang perokok manusia. Kita lihat bagaimana paru-paru ini menjadi hitam jika dibandingkan dengan paru-paru non-perokok yang tampak merah cerah. Kita tidak akan mengomentari perbedaan yang sangat mencolok ini, akan tetapi kita hanya ingin mengingatkan kepada siapa saja yang hingga saat ini masih suka merokok agar sejak detik ini segera berhenti sama sekali. Proses berhenti merokok sebetulnya sangatlah mudah. Cara terbaik untuk berhenti merokok sama sekali adalah dengan membaca ayat berikut ini, setiap kali timbul keinginan untuk merokok dan selalu ingat bahwa merokok adalah perbuatan bunuh diri secara pelan-pelan. Allah Ta`ala berfirman:
(وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا) [النساء: 29]
“… dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Al-Nisa` 29
Merokok adalah perbuatan bunuh diri secara perlahan-lahan. Semoga Allah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

--------------------
Oleh: Abduldaem Al-Kaheel

Sabtu, 11 Mei 2013

Kisah Pemuda Soleh







Al-Kisah: Pada jaman dahulu ada seorang pemuda yang sedang mengembara untuk mencari ilmu Agama.Ketika  beliau sampai disebuah sungai yang jernih dan menyejukan,beliau istirahat disana,karena  merasa haus beliau mengambil air sungai untuk diminum.

Pada saat beliau mengambil air sungai untuk diminum,beliau melihat ada sebuah Mangga matang tergeletak diatas bebatuan sungai,tanpa berfikir panjang dan karena memang perut sudah keroncongan beliaupun memakannya. Sebelum melanjutkan perjalannya kembali ,pemuda pengembara itu menunaikan shalat terlebih dahulu,setelah shalat pemuda itu lalu berdo'a, pada saat pemuda itu sedang berdo'a tiba-tiba pemuda itu teringat bahwa dia telah memakan sebuah mangga yang bukan miliknya.

Pemuda itu menangis sambil bertobat kepada Allah SWT dan berjanji akan meminta keikhlasan pemilik mangga yang ia makan,karena  iya tahu bahwa dosa kepada manusia tidak cukup dengan beristigfar kepada Allah SWT.

Setelah selesai berdo'a dan memohon ampun kepada Allah SWT,pemuda itu pun bersiap-siap untuk meminta keikhlasan sang pemilik pohon mangga.Beliau mengyusri ribuan kilometer sungai dan akhirnya beliau menemukan pohon mangga yang sedang berbuah,beliaupun merasa senang.

Tanpa pikir panjang,beliaupun langsung menemui pemilik pohon mangga yang sedang memanen mangganya,terjadilah percakapan antara pemuda dan pemilik pohon mangga:
Pemuda : " Assalamualaikum Wr.Wb"
Pemilik Mangga :'Wassalamulaikum Wr.Wb."
Pemuda:"Apakah pohon mangga ini milik anda?"
Pemilik Mangga : "iya.memang ada hal apa saudara bertanya demikian?"
Pemuda:"maksud saya datang kesini jauh-jauh karena saya ingin memohon keikhlasan anda karena saya telah memakan sebuah mangga yang saya temukan di sungai".
Pemilik Mangga: (dalam hatinya berfikir)"alangkah mulia sifat anak muda ini,(terpikirlah olehnya untuk menjodohkan dengan putrinya yang solehah )lalu beliau berkata: " Saya akan mengikhlaskan mangga itu apabila anda mau menerima syarat dariku".
Pemuda: "InsyaAllah syarat apapun akan aku lakukan selama anda mau mengikhlaskan sebuah mangga yang aku telah makan,kerena aku takut mangga yang aku makan akan mengalir menjadi darah yang haram ditubuhku manakala engkau tidak mengikhlaskan. Apa syaratnya ?".tanya pemuda
Pemilik Mangga: "Syaratnya adalah engkau harus menikahi putriku yang buta,tuli dan lumpuh"
Pemuda : "Diam sejenak dan berberfikir (menikah dengan putri yang buta,tuli dan lumpuh)".
Pemilik Mangga :"Bagaimana apakah anda sanggup menerima syaratku?".
Pemuda:"demi Allah,aku sanggaup asalkan engkau mengikhlaskan mangga yang telah aku makan".

Kemudian merekapun pulang kerumah pemilik mangga, sesampainya dirumah pemilik mangga langsung mempersiapkan untuk acara pernikahan antara pemuda dan putrinya.Ketika akad pernikahan akan dimulai,pemilik mangga pun memanggil putrinya keluar untuk hadir didepan para tamu undangan dan tentunya dihadapan pemuda.Alangkah kagetnya si pemuda ketika melihat dihadapanya putri yang cantik dan jelita tanpa cacat sedikitpun.Karena dia merasa yang akan menjadi calon istrinya bukan itu,beliau bertanya kepada pemilik mangga.

Pemuda: " Mana calon istriku yang buta,tuli dan lumpuh?"
Pemilik Mangga: " ini putriku yang aku ceritakan dan akan aku jodohkan kepadamu.Buta artinya putriku tidak pernah melihat sesuatu yang haram. Tuli artinya putriku tidak pernah mendengar pembicaraan yang haram.Lumpuh artinya putriku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang haram".

Setelah itu pemuda  menikah dengan putri pemilik mangga dan hidup sakinah,mawaddah dan warrohmah. Dari pernikahan mereka dikaruniai anak-anak yang soleh dan solehah yang selanjutnya menjadi para ulama dimasa itu.

Mudah-mudahan cerita ini mambawa hikmah.aamiin.

Kamis, 09 Mei 2013

Ajaran Islam


Segala puji hanya bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad SAW, keluarganya,shabatnya,tabiin, tabi-tabiin dan kita sebagai umatnya.Amin

Tulisan ini menjelaskan keistimewaan Islam dari sisi ajaran.seoga bermanfaat dan lebih mengamalkan lagi ajaran Islam

1- Ajaran Islam hanya menunggalkan Allah dalam ibadah

Ajaran lainnya menduakan Allah dalam ibadah. Namun ajaran Islam-lah yang memurnikan ibadah hanya pada Allah. Coba renungkan ayat,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًا هَلْ يَسْتَوُونَ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (75)
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. An Nahl: 75).
Ayat di atas adalah permisalah untuk orang kafir dan orang mukmin. Budak yang dimiliki yang tidak mampu memanfaatkan sesuatu pun, inilah ibarat untuk orang mukmin. Sedangkan orang beriman diibaratkan dengan orang yang diberi rizki yang baik lalu ia infakkan secara diam-diam atau terang-terangan. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 698.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,
فإذا كانا لا يستويان، فكيف يستوي المخلوق العبد الذي ليس له ملك ولا قدرة ولا استطاعة، بل هو فقير من جميع الوجوه بالرب الخالق المالك لجميع الممالك القادر على كل شيء؟!!
“Jika tidak sama antara budak dan orang yang merdeka tersebut, bagaimana bisa disamakan antara makhluk yang dikuasai tuannya yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan, bahkan ia itu fakir dari berbagai sisi, ini mau disamakan dengan Allah Ta’ala Sang Maha Pencipta, Maha Memiliki segalanya, dan mampu menguasai segala sesuatu?!!” (Taisir Karimir Rahman, hal. 445).
Dalam lanjutan ayat disebutkan,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَم لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (76)
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (QS. An Nahl: 76).
Syaikh As Sa’di mengatakan mengenai ayat ini,
فكما أنهما لا يستويان فلا يستوي من عبد من دون الله وهو لا يقدر على شيء من مصالحه، فلولا قيام الله بها لم يستطع شيئا منها، ولا يكون كفوا وندا
“Jika dua orang yang dimisalkan dalam ayat ini (orang yang bisu yang masih bergantung pada yang lain dan orang yang menyuruh berbuat adil) tidaklah sama, maka tentu tidak sama antara orang yang menyembah selain Allah sedangkan ia tidak mampu melakukan yang maslahat untuk dirinya sendiri. Jika bukan karena kuasa Allah, tentu ia tidak mampu melakukan sesuatu pun. Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang semisal dan jadi tandingan bagi Allah.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 445).
Sedangkan ajaran Islam yang paling agung adalah memerintahkan untuk mentauhidkan Allah sebagaimana ajaran yang para Rasul lainnya ajarkan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut” (QS. An Nahl: 36).
Sedangkan makna thoghut disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in (1: 50),
كل ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع
“Segala sesuatu yang membuat hamba melampaui batas baik sesuatu yang disembah, sesuatu yang diikuti atau sesuatu yang ditaati.”
Perintah tauhid ini berisi ajaran agar Allah tidak diduakan, ibadah hanya boleh ditujukan pada Allah saja. Tauhid ini adalah maksud dari kalimat laa ilaha illallah yaitu menetapkan sesembahan hanya Allah dan meniadakan sesembahan selain Allah. Sebagaimana kata Ibrahim pada ayahnya yang disebutkan dalam ayat berikut ini,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27) وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (28)
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi (aku menyembah) Rabb Yang telah menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku". Dan (lbrahim ‘alaihis salam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu” (QS. Az Zukhruf: 26-28).
Begitu pula disebutkan dalam ayat lainnya,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb yang Esa, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).

2- Allah benar-benar diagungkan dalam Islam

Allah itu begitu besar sehingga patut kita agungkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - قَالَ جَاءَ حَبْرٌ مِنَ الأَحْبَارِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ ، إِنَّا نَجِدُ أَنَّ اللَّهَ يَجْعَلُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ وَالأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ ، وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ ، وَالْمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ ، وَسَائِرَ الْخَلاَئِقِ عَلَى إِصْبَعٍ ، فَيَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ . فَضَحِكَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ الْحَبْرِ ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ( وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ )
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, ia berkata, “Salah seorang pendeta Yahudi pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seraya berkata”, Wahai Muhammad, sesungguhnya kami dapati (dalam kitab suci kami) bahwa Allah akan meletakkan langit di atas satu jari, bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman, “Akulah Penguasa (raja)”, maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tertawa (lebar) sampai nampak gigi geraham beliau dalam rangka membenarkan ucapan pendeta Yahudi tadi, kemudian beliau membacakan firman Allah (yang artinya), “Dan mereka (orang-orang musyrik) tidak mengagung-agungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat.” (QS. Az Zumar: 67). (HR. Bukhari no. 4811 dan Muslim no. 2786).
Pengagungan pada Allah di sini seperti yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah,
وَمِنَ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ : الْإِيمَانُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ الْعَزِيزِ ، وَبِمَا وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيفٍ وَلَا تَعْطِيلٍ ، وَمِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَمْثِيلٍ .
“Di antara bentuk iman: iman terhadap apa yang Allah sifatkan bagi diri-Nya di dalam kitabnya, begitu pula yang disifati oleh Rasul-Nya Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tanpa merubah maknanya, tanpa menolak maknanya, tanpa menanyakan hakikat sifat Allah, dan tanpa memisalkan dengan makhluk.”
Jadi, yang namanya seseorang mengangungkan Allah adalah dengan ia menetapkan nama dan sifat bagi Allah namun tidak menyamakannya dengan makhluk, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan Allah, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11).
Di antara keistimewaan ajaran Islam lainnya, ajarannya tidak perlu ditambah atau pun dikurangi. Artinya Islam tidak mengizinkan adanya ibadah baru dalam agama, Di samping itu pula, Islam melindungi kehormatan wanita dengan memerintahkan mereka untuk mengenakan jilbab.

3- Ajaran Islam itu telah sempurna, tidak perlu ditambah atau pun dikurangi

Suatu ajaran jika sudah dikatakan telah sempurna, maka tidak butuh adanya tambahan. Kalau ditambah, itu sama saja menyatakan bahwa ajaran tersebut tidaklah sempurna. Coba perhatikan kisah ‘Umar berikut,
لما نزلت { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } وذلك يوم الحج الأكبر، بكى عمر، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم : "ما يبكيك؟" قال: أبكاني أنّا كنا في زيادة من ديننا، فأما إذْ أكمل فإنه لم يكمل شيء إلا نقص. فقال: "صدقت"
“Ketika turun ayat ‘pada hari ini telah kusempurnakan agama kalian untuk kalian’ yaitu pada haji akbar, maka ‘Umar pun menangis. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata padanya, “Apa yang membuatmu menangis?” ‘Umar menjawab, “Yang membuatku menangis karena kami menambah ajaran pada agama yang telah sempurna. Yang namanya sesuatu yang telah sempurna tentu jika ditambah malah jadi tidak sempurna dan malah jadi disebut kurang.” “Engkau benar”, ujar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 315. Dikeluarkan oleh Ath Thobari dengan sanad dan matan darinya. Sanadnya dho’if karena dho’ifnya Sufyan). Meskipun riwayatnya dho’if, namun maknanya shahih.
Sehingga hal ini menunjukkan tercelanya bid’ah karena telah menganggap ajaran Islam itu kurang dan perlu ditambah. Dalil-dalil yang mencela bid’ah dapat dilihat dalam hadits berikut,
1- Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih).
2- Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
3- Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:
1- Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
2- Sesuatu yang baru dalam agama.
3- Tidak disandarkan pada dalil syar’i.
Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.” (Fathul Bari, 13: 254)
Coba bayangkan bagaimana jika dalam ibadah dan amalan terus dibuat inovasi baru, tentu ajaran Islam yang asli bisa rusak bahkan punah karena tidak lagi dikenal.

4- Islam melindungi kehormatan wanita

Dahulu wanita begitu dilecehkan. Namun ketika Islam itu datang, wanita itu begitu dihormati dengan diperintahkan untuk berjilbab. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Apakah ada ajaran yang ingin melindungi wanita seperti ini, yaitu supaya tidak diganggu dan untuk membedakan manakah wanita yang mulia dan bukan?
Lalu apa yang dimaksud dengan jilbab?
Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar. Lihat Fathul Qodir karya Asy Syaukani, 6: 79.
Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” (HR. Muslim no. 890). Hadits ini pun menunjukkan bahwa pakaian wanita muslimah itu lebar (bukan ketat). Karena saking lebarnya pakaian wanita yang disebutkan dalam hadits ini, maka terkadang bisa cukup untuk menutupi dua orang wanita sekaligus.
Sumber: rumaysho.com    dan  I Love Allah .com
 

Sabtu, 04 Mei 2013

Belajar dari Lebah


Segala puji milik Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, rasul akhir jaman dan tidak ada Nabi/rasul sesudahnya.

Penulis hanya ingin berbagi pengalaman, dimana pada jum'at tanggal  3 Mei 2013 penulis mendengar khotbah jum'at di JIC ( Jakarta Islamic Centre ) yang menurut penulis sangat bagus dan membawa pesan moral yang mendalam di jaman sekarang ini.

Seorang Khotib menyampaikan khotbahnya

" Didalam suatu kitab ada sebuah cerita     tentang seorang putri pendeta yang jatuh cinta pada seorang pemuda Muslim, bagi si Pendeta ini merupakan musibah yang sangat besar karena takut anaknya terjerumus masuk agama Islam. Segala cara dilakukan untuk memutuskan cinta kasih antara anaknya dan pemuda Muslim tadi namun usahanya sia-sia.Pada saat seorang pendeta tadi putus asa karena tidak mampu memutuskan tali kasih putrinya dengan seorang pemuda Muslim, tiba-tiba dikesunyian malam putri seorang Pendeta tadi mendengar suara adzan yang sangat jelek(suaranya cempreng,mkhrojnya  tidak pasih) pokoknya tidak enak didengar.Kemudian karena tidak tahu putri pendeta tadi bertanya kepada ayahnya. Suara apakah itu yah..?. Ayahnya menjawab: itu suara orang Muslim yang sedang memanggil untuk melaksanakan perintah Tuhannya.Putri pendeta tadi berfikir panggilan untuk melaksanakan tuhannya aja tidak enak didengar,bagaimana tingkah laku keseharian orang Muslim, pikirnya. Karena kejadian itu Putri pendeta tadi bersumpah untuk tidak menyukai lagi orang Muslim.Mendengar pernyataan putrinya, ayahnya sangat gembira dan memberikan hadiah kepada Muazin yang bersuara jelek tadi sebagai tanda terimakasih.

Makna dibalik cerita tadi yang mengandung istilah "Adzan" itu sifatnya kiasan  bagi seorang Muslim dimana seorang muslim harus memiliki sikap dan perbuatan yang baik ( Akhlaqur Karimah ) dalam bermuamalah dengan manusia, sehingga imeg-imeg negatif tentang Islam tidak ada dipikiran orang yang bermuamalah dengan seorang Muslim. Adzan (da'wah) akan mudah diterima apabila penyampaiannya baik dan benar juda dilandasi hikmah dan pergaulan yang baik.

Bagaimana seorang Muslim yang baik?

Seorang Muslim yang baik harus beribrah (mengambil pelajaran) dari binatang yang namnya Lebah.

1. Lebah tidak memakan yang kotor, kecuali hanya menghisap madu yang baik, karena makanannya baik, yang dikeluarkannya juga baik (madu). Seorang Muslim yang baik harus memakan yang halal lagi baik( sesuai dengan ketentuan syariat Islam jenisnya atau cara mendapatkannya) karena makanan akan menjadi darah yang akan mengalir dalam tubuh, sehingga makanan yang baik akan meghasilkan sikap dan prilaku yang baik.

2. Lebah ketika hinggap disuatu tempat dia tidak merusak  yang ia tempati.Seorang Muslim yang baik harus mampu menjaga lingkungannya.Banyak ayat-ayat dan hadist Nabi Muhammad yang memerintahkan Manusia  harus mampu menjaga dan melestarikan lingkungannya.Ababila kita harmonis dengan lingkungan sekitar maka lingkungan akan memberikan dampak positif bagi kehidupan dan apabila sebaliknya maka tunggu kehancurannya.

3. Lebah tidak pernah menggangu/menyakiti sebelum ia disakiti ( diganggu ).Seorang Muslim yang baik jangan pernah untuk menyakiti orang lain terkecuali ia dizolimi oleh orang lain.Perinsip Muslim "Musuh jangan dicari kalau ada jangan lari" tapi sikap sabar lebih baik apabila kita mampu melakukannya.

4. Lebah selalu bersatu dalam sarang tidak pernah saling bercerai -berai terkecuali dalam melaksanakan tugas.Muslim yang baik adalah muslim yang mampu mempererat tali sillaturrahmi dan memperkokoh tali persaudaraan. Muslim yang baik tidak saling menghancurkan,menggunjing,memperolok-olok Muslim yang lainnya. Muslim yang baik yang memandang muslim lainnya adalah saudranya sehingga akan tercipta antara Muslim yang satu dengan Muslim lainnya laksana bangunan yang saling memperkokoh."

Demikian pengalaman penulis dalam mengutip Khotib Jum'at di JIC. 
Benar datangnya dari Allah SWT, salah dari diri pribadi dan semoga Allah SWT mengampuni setiap kesalahan yang kita lakukan.