“NANTI kan shalat sendiri kalau sudah baligh, bu,
” jawab seorang ibu muda – sebut saja namanya Faizah - yang berprofesi
sebagai seorang guru di Sekolah Dasar (SD) menjawab orangtuanya yang
menasehati agar Faizah menyuruh dua anaknya yang berusia tujuh dan
sepuluh tahun untuk segera melaksanakan shalat saat terdengar adzan
Maghrib.
Setiap hari ketika dikumandangkan adzan Maghrib dan Isya’
anak-anaknya tetap asyik menatap layar TV dan atau menatap layar laptop
untuk bermain game. TV tidak dimatikan, bahkan suaranya nyaring bersaing
dengan suara adzan dari musholla yang letaknya berdekatan dengan rumah
mereka. Faizah tidak menyuruh mereka untuk sekadar mengecilkan suara TV
apalagi mematikan TV dan atau Laptop. Dia juga tidak melakukannya
sendiri. Lebih dari itu, dia tidak menyuruh mereka shalat.
Faizah sendiri melakukan shalat, tapi lebih sering menunda-nunda
hingga hampir habis waktunya. Selain karena tidur, juga karena asyik
menonton acara-acara TV kesukaannya. Tak ketinggalan juga karena asyik
bermain Facebook.
Suaminya, yang mengaku sebagai guru juga melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan istrinya terhadap anak-anak mereka. Lebih dari
itu, setiap shalat lima waktu berjamaah di musholla dia pergi sendiri
tidak mengajak anak-anaknya ikut.
Kadang ketika telah adzan Maghrib dan Isya’ dia menyuruh anak-anaknya mematikan TV dan segera shalat. Bahkan mengajak anak-anaknya shalat berjamaah bersamanya di rumah. Tapi mereka tidak segera melaksanakannya perintah.
Kadang ketika telah adzan Maghrib dan Isya’ dia menyuruh anak-anaknya mematikan TV dan segera shalat. Bahkan mengajak anak-anaknya shalat berjamaah bersamanya di rumah. Tapi mereka tidak segera melaksanakannya perintah.
Setiap waktu Subuh dia dan suaminya seringkali tidak membangunkan
anak-anaknya untuk shalat. Lebih-lebih di hari libur, anak-anaknya
seharian berada di rumah untuk bercengkrama dengan acara TV sampai lupa
shalat. Kegiatan ini berlangsung hingga bertahun-tahun hingga anak
sulungnya mencapai umur baligh dan duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah.
Sekadar Memberi Teladan Tidaklah Cukup
Kedua orangtua dari anak-anak di atas telah memberi teladan dengan
melaksanakan shalat terlebih dahulu. Namun memberi teladan tidaklah
cukup, tapi juga harus diiringi dengan kata-kata verbal berupa perintah
sejak anak berumur tujuh tahun, juga hukuman fisik sesuai dengan aturan
menghukum anak yang diajarkan Nabi saw jika anak telah berumur sepuluh
tahun dan tidak melaksanakan shalat.
Anak juga manusia yang cenderung lebih tertarik, mudah dan senang
melakukan aktivitas-aktivitas yang memuaskan kesenangan duniawi daripada
kesenangan ukhrawi. Untuk melakukan aktivitas kesenangan duniawi, tanpa
didorong, disuruh dan dipaksa, siapapun mau, mampu, ringan dan senang
melakukan. Sedangkan untuk melakukan aktivitas kesenangan ukhrowi
siapapun termasuk anak cenderung berat dan malas.
Apalagi keadaan zaman modern sekarang ini yang tersedia begitu banyak
jumlah dan jenis sarana pemuas kesenangan duniawi seperti TV dengan
segala programnya, serta handphone, komputer, dan internet
dengan segala kontennya yang menggoda siapapun apalagi anak sehingga
lupa pada kewajiban-kewajibannya termasuk kewajiban agama seperti
shalat. Oleh karena itu, agar anak mau dan terbiasa melakukan shalat
anak perlu diperintah. Jika tidak diperintah alias dibiarkan atau diberi
kebebasan dan pilihan, anak cenderung menuruti kehendak hatinya atau
memilih melakukan kegiatan yang diinginkannya atau yang disenanginya.
“Suruhlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh
tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan
menunaikannya.” (HR. Abu Dawud)
Demikian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam menyuruh anak
shalat harus sudah dilakukan orangtua ketika anak mencapai umur tujuh
tahun.
Menyuruh anak shalat tidak berhenti ketika anak memasuki umur delapan
tahun. Pada prakteknya, meskipun hampir atau bahkan telah baligh bisa
saja anak tetap harus disuruh shalat. Perbedaannya, jika telah mencapai
umur sepuluh tahun dan tidak mau melaksanakan shalat, orangtua boleh
menghukumnya
Hadits tersebut bisa menjadi pembenar bagi orangtua untuk memukul anak-anaknya yang telah berusia sepuluh tahun jika tidak melaksanakan shalat.
Hadits tersebut bisa menjadi pembenar bagi orangtua untuk memukul anak-anaknya yang telah berusia sepuluh tahun jika tidak melaksanakan shalat.
Tapi apakah memang dibenarkan dan diperbolehkan bagi orangtua untuk
memukul anak jika tidak melaksanakan shalat? Memukul anak dalam
pengertian ini pasti berbeda dengan memukulnya dua orang dewasa dalam
sebuah perkelahian. Lebih tepatnya “memukul” di sini dimaksukkan sebagai
sarana pendidikan dan shock terapy.
Meskipun menurut Islam orangtua diperbolehkan menghukum anaknya yang
sudah berusia sepuluh tahun yang tidak melaksanakan shalat tapi pada
zaman ini tidak setiap orangtua Muslim melaksanakannya.
Memberi Teladan dan Melatih Anak Sabar Mendirikan Shalat
Menyuruh anak sebagai anggota keluarga untuk melaksanakan shalat
merupakan kewajiban bagi orangtua terutama ayah. Perintah Allah kepada
orangtua untuk memerintah anaknya malaksanakan shalat tidaklah mudah,
sederhana, sekadar memerintah dan membutuhkan waktu yang pendek. Di
dalamnya tersirat banyak perintah lainnya yang berkaitan dengan proses
pendidikan anak yang tidak sepi dari rintangan dan tantangan, serta
membutuhkan waktu yang panjang.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik)
itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaahaa [20]:132)
Melalui ayat tersebut di atas, Allah selain memberi perintah kepada
orangtua terutama ayah sebagai pemimpin rumah tangga untuk menyuruh
anak-anaknya sebagai anggota keluarganya untuk mendirikan shalat, juga
memerintah mereka berdua untuk bersabar dalam mendirikannya. Dengan
menjalankan perintah bersabar mendirikan shalat, orangtua terutama ayah
berarti telah memberi teladan kepada anak-anaknya. Keteladanan adalah
faktor utama dan pertama penentu keberhasilan pendidikan. Dengan
demikian tidaklah mengherankan, orangtua yang sabar mendirikan shalat
mempunyai peluang lebih besar memiliki anak-anak yang sabar mendirikan
shalat dibandingkan orangtua yang tidak sabar mendirikan shalat.
Menjadi tanggung jawab orangtua terutama ayah tidak cukup mencetak
anak-anaknya menjadi pribadi-pribadi penegak shalat, namun juga mencetak
mereka menjadi pribadi-pribadi yang memiliki sifat sabar dalam
mendirikan shalat dan sabar meninggalkan aktivitas dan urusan lain untuk
mengutamakan shalat. Untuk itu memberi nasehat, pengetahuan,
keteladanan, pelatihan dan pengalaman adalah langkah-langkah yang tidak
boleh diabaikan orangtua.
Melakukan semua proses pendidikan shalat pada anak seperti yang telah disebutkan di atas merupakan upaya yang bisa dilakukan orangtua sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, serta tidak mempunyai daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah Subhanahu Wata'ala. Allah Maha Segalanya. Oleh karena itu orangtua mesti sering dan banyak memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar anak-anaknya menjadi penegak-penegak shalat yang sabar dalam mendirikannya dan dalam mengutamakan shalat daripada aktivitas lainnya.*
Melakukan semua proses pendidikan shalat pada anak seperti yang telah disebutkan di atas merupakan upaya yang bisa dilakukan orangtua sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, serta tidak mempunyai daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah Subhanahu Wata'ala. Allah Maha Segalanya. Oleh karena itu orangtua mesti sering dan banyak memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar anak-anaknya menjadi penegak-penegak shalat yang sabar dalam mendirikannya dan dalam mengutamakan shalat daripada aktivitas lainnya.*
Penulis peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala
Lumpur Malaysia, pengelola Fanspage SBQ (Sukses Bersama Qur’an)
Hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar